Laman

Senin, 05 Juli 2010

Sendal jepit Istriku. ..

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa
kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam
keadaan lapar memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan
lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin tak
ketulungan.

“Ummi… Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak
keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan
emosi untuk tak menggerutu.

“Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya
mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem.

“Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak
tahan kalau makan terus menerus seperti ini!” Jawabku masih dengan nada tinggi.

Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala
dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya merebak.

*******

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan
jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun apa yang
terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di
rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku
tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung
di sana sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw!
berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena
berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan
seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

“Ummi… Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus
begini?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri sholihah itu
tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur
tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju,
beresin rumah?”

Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang
kelihatan begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali untuk menangis,” batinku.
“Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihah? Isteri
shalihah itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya
menganak sungai.

“Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini
berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk
kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak
bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak
ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi,
sementara air matanya kulihat tetap merebak.

Hamil muda?!?! Subhanallah … Alhamdulillah…

********

Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku. “Aduh, Mi… Abi kan
sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku.

“Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan
di jalan,” jawab isteriku.

“Lho, kok bilang gitu…?” selaku.

“Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau
mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas
menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi.

“Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan.

*******

Pertemuan dengan mitra usahaku hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan
waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini
tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku
mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara
belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu
persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita,
memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku
membathin.

Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang
sepatu indah. Kuperhatikan ada inisial huruf M tertulis di sandal jepit itu.
Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya
hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu.
Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru
sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai
kemana-mana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya
bersepatu bagus.

“Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku.

“Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke
tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah
mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya.
Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti
yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan
orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku
berakhir ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini
dia mujahidah (*) ku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu
bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai
baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali
dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju
pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku,
padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku
benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk
mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah
berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap
keluarganya.”

Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar
menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan menuntut
isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa
menjadi suami terzalim!

“Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu
lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas
kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya
mengembangkan senyum. Senyum bahagia.

“Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, baru kali ini aku melihat isteriku
segirang ini.

“Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika sedang kegirangan… kenapa tidak dari
dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.

******

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum
bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,”
ucapnya dengan suara mendalam dan penuh ketulusan.

Ah, Maryamku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal
menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud
(**) dan ‘iffah (***) sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa
nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku?

(Oleh : Yulia Abdullah)

Keterangan

(*) mujahidah : wanita yang sedang berjihad

(**) zuhud : membatasi kebutuhan hidup secukupnya walau mampu lebih dari itu

(***) ‘iffah : mampu menahan diri dari rasa malu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar