Laman

Selasa, 13 April 2010

BELAJAR MENDENGARKAN (Learn to Listen)

Suara dering tengah malam pasti mengagetkan setiap ibu,. Kita semua tahu bagaimana rasanya menerima telpon tengah malam. Demikian pula halnya dengan dering telpon malam itu. Aku tersentak dan segera menyambar gagangnya sambil memandang tajam kea rah angka-angka jamku. Tengah malam. Perasaan panic menyelimuti pikiranku yang masih setengah tidur.
“Halo?” kataku dengan hati berdebar-debar. Aku mencengkeram gagang telpon lebih kencang sambil melihat suamiku yang sekarang menghadap kea rah tempat tidurku.
“Mama?”
Terdengar bisikan dari seberang. Aku hamper tidak dapat mendengar suara itu di anatar berisik koneksi telepon yang kotor. Namun, pikiranku segera melayang ke anak perempuanku. Setelah tangisan putus asa dari seorang gadis remaja terdengar jelas, aku segera meraih tubuh suamiku dan menekan pergelangan tangannya.
“Mama, aku tahu sekarang sudah larut malam. Tapi tolong jangan. .. jangan kau potong sebelum aku selesai bicara. Dan sebelum kau bertanya, sebenarnya aku katakana: benar, aku memang minum. Aku hamper saja melarikan beberapa mil dari sini.”
Aku menarik nafas pendek dan tajam, melepaskan tangan suamiku dan menekankan telapak tanganku ke dahi. Aku masih dalam keadaan setengah tidur, dan berusaha mengatasi kepanikanku.
Ada sesuatu yang tidak beres.
“Aku takut sekali. Yang dapat kupikirkan sekarang hanyalah apakah aku akan bersedih jika seorang polisi memberimu kabar bahwa aku telah mati. Aku ingin pulang kerumah. Aku sadar bahwa aku melarikan diri dari rumah adalah perbuatan yang keliru. Aku tahu, kau selama ini mengkhawatirkan keadaanku. Seharusnya aku meneleponmu beberapa hari yang lalu, tapi aku takut. ..takut..”
Suara isak tangis yang keluar dari perasaan yang paling dalam mengalir keluar lewat gagang telpon membanjiri hariku. Wajah anak perempuanku segera terbayang di mata. Pikiranku yang tadi berkabut sekarang mulai terang, aku lalu berkata, “aku berfikir…”
“Jangan! Tolong jangan berkata dulu! Tolong biarkan aku bicara sampai selesai!” katanya memohon; tidak dengan ungkapan kemarahan, tapi dengan keputusasaan. Aku berhenti berbicara sambil memikitkan apa yang harus aku katakana. Sebelum aku dapat berkata-kata, ia melanjutkan, “Mama, aku hamil. Aku tahu, aku tak seharusnya minum ssekarang, khususnya sekarang ini, tapi aku takut, mama. Aku sangat takut!”
Suaranya terputus lagi, dan aku menggigit lidahku, merasakan mataku berkaca-kaca. Aku mendongak melihat suamiku duduk tenang menggerakkan mulutnya tanpa suara, “Siapa yang telepon?”
Aku menggelengkan kepala. Karena tidak mendapatkan jawaban, ia segera bangkit meninggalkan kamar, beberapa detik kemudian kembali membawa telpon jinjing dan merapatkannya ke telinganya dia mungkin mendengar suara klik, karena kemudian bertanya, “Apakah kau masih di situ? Tolong jangan kau tutup teleponnya. Aku membutuhkanmu. Aku merasa kesepian.”
Aku menggenggam telpon dan menatap dan menatap suamiku mengharap petunjuknya.
“Aku di sini, aku tidak akan menutup telepon.” Kataku.
“Seharusnya sudah ku katakana kepadamu. Namun, setiap kali kita bicara ka uterus mengatakan apa-apa yang harus ku lakukan. Kau membaca semua brosur tentang bagaimana berbicara tentang sex dan lain-lain, tapi yang kau bicarakan hanya bicara saja. Kau tidak pernah mendengarku. Kau tak pernah membiarkanku bicara tentang apa-apa yang kurasakan. Seakan-akan perasaan ku tidak penting. Karena kau ibuku, maka kau lalu mengira bahwa kau mempunyai semua jawaban. Aku butuh seseorang yang mau mendengarkan.”
Aku menelan ludah dan menatap brosur. “bagaimana bebrbicara dengan anakmu” yang tergeletak di rak.
“Aku sekarang mendengarkan,” kataku berbisik.
“Kau tahu, di sebelah sana, di jalanan, setelah aku dapat menegndalikan mobilku, aku memikirkan bayi yang ku kandung dan perawatannya. Kemudian kulihat telepon ini seakan-akan aku mendengarmu menceramahiku tetntang seseorang yang seharusnya tidak minum minuman keras ketika mengendarai, lalu aku memanggil taksi. Aku ingin pulang kerumah.”
“Bagus sayang,” kataku sambil merasakan bahwa dadaku menjadi lapang. Suamiku mendekat, duduk disebelahku menautkan jarinya ke jariku.
“Tapi, ku pikir aku sekarang dapat mengendarainya.”
“Jangan!” sergahku.
Ototku menegang, kukencangkan cengkeramanku di tangan suamiku. “Tolong tunggu sampai taksimu dating! Jangan kau taruh teleponmu sampai taksi itu dtang!”
“Aku hanya ingin pulang ke rumaha , mama.”
“AKu tahu. Tapi lakukanlah itu demi mamamu. Tolong tunggu sampai taksi itu dating!”
Suasana hening. Aku tidak mendengar jawabannya. Aku menggigiti lidahku dan menutup mataku. Bagaimanapun juga aku harus mencegahnya mengendarai mobil.
“Taksi sudah dating,” katanya.
Setelah mendengar suara dari kejauhan berbicara tentang urusan taksi, perasaan tegangku mulai berkurang.
“Aku sekarang pulang, Mama”
Terdengar suara klik, telepon pun menjadi hening.
Bangkit dari tempat tidur, mataku berkaca-kaca. Aku berjalan menyusuri lorong rumah menuju kamar gadisku yang berusia 16 tahun. Suamiku menyusul dari belakang, melingkarkan tangannya ke tubuhku dan meletakkan dagunya di kepalaku.
Aku menghapus air mata di pipiku. “Kita harus belajar mendengarkan,” kataku kepada suamiku.
Ia engamatiku beberapa detik kemudian bertanya, “Apakah dia bakal tahu, bahwa ia telah memutar nomor yang salah?”
Aku melihat anakku yang sedang tidur lalu berkata kepadanya, “Mungkin dia tidak salah menelepon.”
“Mama, Papa, apa yang sedang kalian lakukan?” kata suara dari balik selimut. Aku berjalan menghampiri anak gadisku satu-satunya yang sekarang sudah duduk sambil membuka lebar-lebar matanya di kegelapan.
“Kami sedang latihan,” kataku
“Latihan apa?” gumamnya sambil berbaring lagi tapi matanya sudah terpejam.
“Mendengarkan,” kataku berbisik sambil mengusap pipinya.

MANGKUK KAYU (The Wooden Bowl)

Seorang lelaku tua tinggal bersama anak laki-lakinya, menantu dan cucunya yang baru berusia 4 tahun. Tangan lelaki tua itu gemetaran, matanya kabur dan jalannya tertatih-tatih.
Keluarga ini selalu makan bersama di meja, namun tangan orang tua mereka yang gemetaran membuat makan menjadi pekerjaan yang sulit baginya. Pastei (pie) menggelinding dari sendoknya jatuh ke lantai. Bila ia meraih Gelas, susu tumpah membasahi taplak meja. Anak dan menantunya menjadi jengkel karena kotoran yang diakibatkannya.
“Kita harus berbuat sesuatu terhadap ayah,” kata si anak. “Aku sudah tidak sabar lagi melihat tumpahan susu, berisiknya kunyahan dan makanan yang jatuh ke lantai.”
Kemudian suami, istri itu menyediakan meja kecil di pojok rumah. Di meja ini ayah mereka makan seorang diri. Karena sang ayah juga memecahkan satu atau dua piring, maka makanan di meja kecil ini disajikan dalam mangkuk terbuat dari kayu.
Bila keluarga ini melihat sekilas kea rah lelaki tua itu, terkadang tampak matanya berkaca-kaca selagi ia duduk sendiri. Apabila sang kakek menjatuhkan garpu atau menumpahkan makanan, mereka menegurnya dengan keras. Sang cucu yang berumur 4 tahun diam-diam menyaksikan semua kejadian itu.
Suatu petang, sebelum makan malam, sang ayah menyaksikan anaknya bermain dengan potongan-potongan kayu di lantai. Dengan manis ia bertanya, “Lagi bikin apa, Nak.”
Sang anak dengan manja menjawab, “Oh… aku sedang membuat mangkuk kecil untuk makan papa dan mama bila aku sudah besar nanti.”
Anak umur 4 tahun ini tersenyum manis lalu kembali bekerja.
Kata-kata si anak menampar kedua orang tuanya sehingga mereka tak kuasa berkata-kata. Air mata mulai mengalir di pipi mereka. Meskipun keduanya tidak berbicara, tapi mereka tahu apa yang harus segera dilakukan.
Malam itu juga, sang suami memegang dengan lembut tanga ayahnya lalu membimbingnya ke meja keluarga. Sejak hari itu, lelaki tua itu makan lagi bersama keluarganya. Dan suami istri itu tidak pernah lagi mempedulikan garpu yang jatuh, susu yang tumpah dan taplak meja yang kotor.

WANITA LAIN (The other women)

Setelah menikah selama dua puluh satu tahun akhirnya ku temukan cara untuk menjaga agar cahaya cinta tetap bersinar.
Beberapa waktu yang lalu, aku keluar bersama wanita yang lain dari biasanya. Gagasan itu justru dari istriku sendiri.
“Aku yakin kau akan mencintainya,” kata istriku
“Tapi aku mencintaimu,” protesku
“Aku tahu itu, tapi kau juga akan mencintainya.”
Sebenarnya wanita yang dimaksud istriku tidak lain adalah ibuku sendiri yang telah menjanda selama 19 tahun. Tuntutan pekerjaan dan tiga anakku membuatku jarang mengunjunginya.
Malam itu aku menelepon untuk mengajaknya kencan makan dan nonton bioskop.
“Ada apa? Kau baik-baik saja kan?” ibuku balik bertanya.
Ibuku termasuk tipe orang yang beranggapan bahwa telpon di larut malam dan undangan mendadak adalah pertanda berita buruk.
“Kupikir akan sangat menyenangkan melewatkan waktu bersama ibu,” jelasku. “Hanya kita berdua saja.”
Dia berfikir sejenak lalu berkata, “Aku setuju dengan rencanamu.”
Jum’at itu, setelah kerja, aku meluncur ke rumahnya untuk menjemput. Aku sedikit gelisah. Sesampainya di sana, kuperlihatkan dia juga salah tingkah. Dia memakai mantel, menunggu didepan pintu. Rambutnya dikeriting dan memakai baju yang dikenakannya di ulang tahun perkawinannya yang terakhir. Dia tersenyum dengan wajah seberseri bidadari.
“Aku bercerita kepada teman-temanku bahwa aku kencan dengan anakku. Mereka terkesan, ” katanya sambil memasuki mobil.”Mereka tidak sabar menunggu cerita pertemuan kita in.i”
Kami pergi ke restoran yang cukup baik dan nyaman. Ibuku menggandeng tanganku seakan-akan ia adalah istri seorang presiden. Setelah kami duduk, ku baca menu. Mata ibuku hanya bisa melihat tulisan yang tercetak dengan hurufbesar.
Selama makan kuperhatikan ibu selalu menatapku, senyuman nostalgia tersungging di bibirnya.
“Biasanya, aku yang selalu membacakan menu ketika kau masih kecil,” kata ibu
“Sekarang santailah, biar aku yang ganti membaca untuk membalas kebaikan ibu,” jawabku.
Selama makan malam, kami terlibat dalam pembicaraan yang mengasyikkan. Tidak ada yang istrimewa, hanya tentang kejadian-kejadian terakhir dalam hidup kami berdua. Kami bicara banyak sampai lupa nonton film. Kemudian aku mengantarnya pulang.
“Aku akan keluar lagi bersamamu, tapi atas undanganku,” kata ibuku. “kalau kau setuju?”
Aku segera menyatakan persetujuanku.
Sesampainya di rumah, istriku bertanya, “Bagaimana acara makan malammu?”
“Sangat menyenangkan. Jauh lebih menyenangkan dari yang ku bayangkan,” jawabku.
Beberapa hari kemudian ibuku meninggal dunia karena serangan jantung. Kejadian itu begitu mendadak sehingga aku tidak sempat berbuat apa-apa. Kemudian aku menerima amplop ibuku yang berisi kwitansi tanda lunas dari sebuah rumah makan yang rencananya akan kami kunjungi berdua. Amplop itu juga berisi secarik surat yang berbunyi:
“Telah ku bayar lunas. Mungkin aku tidak bisa ke sana bersamamu, tapi aku tetap membayar untuk dua orang: untukmu dan istrimu. Kau tak kan pernah tahu arti malam itu bagiku. Aku mencintaimu.”
Saat itu aku baru menyadari betapa pentingnya ucapan: “Aku mencintaimu” dan member orang yang kita cintai waktu yang layak diterimanya.
Dalam hidup ini tak ada yang lebih penting dari Tuahan dan keluargamu. Luangkan waktu yang layak bagi mereka karena hal itu tak dapat di tunda sampai waktu lain.

PEPATAH DARI BERBAGAI NEGARA

Keraguan merupakan kunci pengetahuan (Pepatah Persia)
Apa yang dilakukan oleh orang bodoh di saat akhir, dilakukan oleh orang pintar di saat awal (Pepatah Spanyol)
Lebih baik seratus musuh di luar rumah dari pada satu di dalam (Pepatah Arab)
Laut tenang tidak menciptakan pelayar tangguh (Pepatah Amrika)
Perang besar membuat Negara memiliki 3 pasukan: pasukan cacat, pasukan berkabung dan pasukan penjarah (Papatah Jerman)
Suatu masyarakat akan tumbuh baik bila di dalamnya terdapat orang-orang tua yang menanam pohon sedang mereka sadar takkan pernah duduk di bawah naungannya. (Pepatah Yunani)
Gunakanlah kata-kata lembut tapi argumentasi kuat. (Pepatah Inggris)
Orang muda mnyebutkan apa yang sedang mereka kerjakan. Orang bodoh menyebutkan apa yang ingin mereka kerjakan. (Pepatah Perancis)
Bila tikus menertawakan kucing, pasti ada lubang didekatnya (Pepatah Negeria)

CINTA (A Succesful Relationship)

Sepasang suami istri yang telah menika selama 11 tahun akhirnya dikaruniai anak pertama. Keduanya saling mencinta dan anak itu adalah buah hati mereka
Suatu pagi hari, ketika si anak telah berumur dua tahun, suami melihat botol obat terbuka. Karena takut terlambat, ia berpesan kepada istrinya agar menutup botol obat itu dan menyimpannya di lemari.
Istrinya yang sedang sibuk di dapur sama sekali lupa dengan pesan suaminya. Anaknya yang sedang bermain-main melihat botol obat itu, lalu menghampirinya. Merasa tertarik dengan warna obat yang ada di dalamnya, ia lalu meminum semuanya. Obat dengan dosis tinggi untuk orang dewasa itu membuat si anak tidak sadar. Ibunya segera membawanya ke rumah sakit. Namun, nyawa anak itu tidak tertolong.
Sang istri terguncang melihat kejadian ini dan merasa takut menghadapi suaminya. Tak lama kemudian suaminya datang ke rumah sakit melihat jasad anaknya. Ia menatap wajah istrinya lalu berkata, “Aku cinta kepadamu, sayang!”
Ucapan tak disangka-sangka dari suaminya ini merupakan sikap proaktif. Anak itu sudah mati. Ia tidak dapat dihidupkan kembali. Tidak ada gunanya mencari kesalahan-kesalahan istrinya. Disamping itu, kalau saja ia mau menyempatkan diri menutup botol obat itu, tentu kejadian ini bisa dihindarkan.
Tidak ada seorang pun yang harus disalahkan. Istrinya telah kehilangan anak satu-satunya. Yang ia butuhkan sekarang adalah hiburan dan ucapan simpati dari suaminya.
Jika setiap orang melihat kehidupan dari perspektif ini, maka berbagai persoalan di dunia menjadi ringan. Karena itu, tanggalkanlah sifat iri hati, cemburu, sikap tidak pemaaf, egoism dan kecemasan, niscaya kau akan mendapati segala sesuatu yang kau bayangkan.
Hubungan yang sukses membutuhkan seseorang untuk jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama.

RACUN

Dahulu kala di negeri cina, seorang gadis bernama Li-Li menikah lalu hidup bersama suami dan ibu mertuanya. Belum lama tinggal di rumah itu, Li-Li telah merasa bahwa ia sama sekali tidak bisa akur dengan ibu mertuanya. Mertuanya mempunyai watak sangat berbeda, banyak kebiasaannya yang menjengkelkan LI-Li, belum lagi ia selalu mencela Li-Li
Hari berganti mingg, minggu berganti bulan Li-Li dan mertuanya selalu terlibat dalam perdebatan dan permusuhan. Dan yang membuat keadaan semakin buruk adalah, menurut tradisi cina, Li-Li harus memnungkukan badan kepada ibu mertuanya dana mena’ati kehendaknya. Semua amarah dan ketidakbahagiaan di rumah tangga membuat suami Li-Li menjadi tertekan.
Akhirnya Li-Li tidak sanggup lagi menghadapi watak buruk dan sifat dictator ibu mertuanya. Ia memutuskan untuk berbuat sesuatu. Kemudian pergilah ia menemui tuan Huang, sahabat baik ayahnya, yang pekerjaannya menjual berbagai ramuan tradisional. Ia menceritakan masalah yang dihadapinya dan memohon kiranya boleh meminta racun sehingga ia bisa menyelesaikan semua problem yang dihadapinya.
Tuan Huang berfikir sejenak lalu berkata, “Li-Li, aku akan membantumu, tapi kau harus menaati peintahku!”
“Baik, Tuan Huang, aku akan melakukan apa saja perintahmu,” jawab Li-Li
Tuan Huang pergi ke ruang belakang beberapa menit, kemudian muncuk dengan sebuah bungkusan ditangannya.
“Kau tidak boleh meggunakan racun yang keras untuk menyingkirkan ibu mertuamu, karena Nanti orang-orang nanti akan curiga. Ku beri kau beberapa ramuan yang perlahan-lahan akan menimbun racun ditubuhnya. Setiap hari sipakan masakan yang lezat, lalu masukkan sedikit ramuan ini kedalam mangkuknya. Nah, agar tidak membuat orang lain curiga sepeninggalnya nanti, mulai sekarang mulailah bersikap manis kepadanya. Jangan berdebat lagi dengannya, taatilah segala perintahnya, dan perlakukan dia sebagai orang jatuh.” Kata Tuan Huang
Li-Li merasa sangat senang berterima kasih kepada Tuan Huang. Ia segera kembali kerumah untuk mulai melaksanakan rencananya. Minggu berganti bulan, waktu terus berjalan dan tiap hari Li-Li mengidangkan makan khusus untuk ibu mertuanya. Ia ingat betul nasehat Tuan Huang agar tidak bertindak mencurigakan. Ia lalu mengendalikan amarahnya, mena’ati mertuanya dan memperlakukan nya seperti ibunya sendiri.
Setelah 6 bulan, keadaan rumah tangga mereka berubah. Li-Li selalu mengendalikan diri sehingga hamper tidak pernah marah atau jengkel lagi. Ia tidak pernah lagi berdebat, karena ibu mertuanya sekarang tampak lebih ramah dan mudah dilayani.
Sikap sang mertua terhadap Li-Li pun berubah, ia mulai menyayangi Li-Li seperti anak kandungnya sendiri. Ia selalu bekata kepada kerabat dan temannya bahwa Li-Li adalah menantu yang paling baik. Li-Li dan mertuanya; satu dengan lainnya, : satu dengan lainnya, sekarang bersifat seperti anak dan ibu kandungnya sendiri. Suami Li-Li tentu saja merasa bahagia menyaksikan perubahan ini.
Suatu hari Li-Li menemui Tuan Huang untuk memohon pertolongannya lagi. “Tuan Huang yang saya hormati, tolong bantu aku untuk menyelamatkan mertuaku dari racun itu! Ia berubah menjadi wanita yang sangat baik. Aku sekarang mencintainya seperti ibuku sendiri. Aku tidak ingin dia mati karena racun yang ku berikan kepadanya.”
Tuan Huan tersenyum dan menganggukan kepalanya, “Li-Li, tak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku tak pernah member racun. Ramuan yang kuberikan kepadamu adalah vitamin dan obat kuat untuk memperbaiki kesehatan mertuamu. Racun yang sebenarnya tersimpan dalam pikiran dan sikapmu terhadapnya. Namun, semua racun itu sekarang telah terkikis habis oleh kasih sayang yang kau berikan kepadanya.”
***
Pernahkah kau sadari bahwa bagaimana kau memperlakukan orang lain adalah bagaimana orang lain itu juga akan memperlakukanmu. Ada pepatah cina berbunyi: orang yang mencintai orang lain akan mendapatkan balasan cinta dari orang itu.

WANITA PALING BERUNTUNG

Suasana pagi itu sangat sibuk. Jam menunjukkan pukul 08.30 ketika seorang lelaki tua umur 80-an masuk untuk meminta agar jahitan di ibu jarinya dilepas. Ia berkata bahwa ia sedang terburu-buru karena ada janji jam 09.00. aku memahami gelagatnya Lalu memintanya untuk duduk. Aku tahu pekerjaan ini akan memakan waktu lebih dari satu jam sebelum orang lain bisa menemuinya.
Aku perhatikan ia melihat jamnya lalu memutuskan untuk dilepas jahitannya. Karena aku sedang tidak sibuk dengan pasien-pasien lain, maka kuteliti luka di ibu jarinya. Ternyata lukanya telah sembuh dengan baik, lalu kukatakan kepada salah seorang dokter apa yang hendak aku lakukan. Aku lalu menyiapkan peralatan dan barang-barang yang kuperlukan untuk melepas jahitan dan membalut lukanya.
Sambil merawat lukanya aku terlibat dalam pembicaraan dengannya. Aku bertanya padanya apakah pagi ini ia punya janji dengan salah seorang dokter di sini karena ia tampak begitu terburu-buru. Ia menjawab tidak, ia harus pergi kerumah perawatan (Nursing Home) untuk sarapan bersama istrinya. Aku lalu bertanya tentang keadaan istrinya. Ia berkata bahawa istrinya menderita Alzheimer dan belum lama dirawat di tempat itu.
Sambil mengobrol, kuselesaikan balutan di ibu jarinya. Aku bertanya apakah istrinya akan merasa khawatir bahwa hari ini ia agak terlambat. Ia menjawab bahwa istrinya sudah lima tahun tidak lagi mngenalinya.
Aku merasa terkejut dan bertanya, “Apakah kau pergi kesana setiap hari meski istrimu sudah tidak mengenalimu?”
Ia tersenyum, menepuk tanganku lalu berkata, “Benar ia tidak mengenaliku, tapi aku kan mengenalinya!”
Aku harus menahan tangis haruku ketika ia pergi. Aku erenung, “Inilah jenis cinta yang kuarapkan dalam hidupku.”
Sungguh istrinya adalah wanita yang paling beruntung. Seharusnya kita memiliki cinta semacam ini. Cinta sejati tidak bersifat jasmani, dan tidak pula hanya bersifat romantis . cinta sejati adalah kesediaan menerima apa adanya, dan kerelaan untuk menerima apa yang tealh, apa yang akan dan apa yang tidaka akn terjadi.
Sahabat yang baik seperti bintang dilangit. Kau tidak dapat selalu melihatnya, namun kau tahu bahwa mereka ada diluar sana

Cinta, Sukses dan Kaya

Seorang wanita yang keluar rumah mendapati di halaman depan ada tiga kakek berjenggot putih dan panjang.
“saya kira, saya tidak kenal kalian, tapi kalian pasti lapar. Silakan masuk untuk makan,” kata wanita itu.
”Apakah suamimu ada dirumah?” Tanya mereka
“Tidak,” jawab wanita itu, “Ia sedang keluar.”
“Kalau demikian kami tidak bias masuk,” kata mereka.
Ketika hari sudah sore dan suaminya telah dating, wanita itu bercerita kepadanya tentang apa yang terjadi dirumahnya.
“Beritahu mereka, aku telah dating dan mereka dipersilakan masuk,” kata suaminya
Wanita itu lalu keluar untuk mengundang mereka.
“Kami tidak masuk bersama-sama,”jawab mereka
“Mengapa demikian?” Tanya wanita itu.
Salah seorang dari mereka berkata, “Nama dia KAYA,” Katanya sambil menunjuk salah seorang temannya, lalu ia menunjuk temannya yang lain, “Nama dia SUKSES, dan aku sendiri CINTA.”
Ia kemudian melanjutkan, “Nah, sekarang bicarakan dengan suamimu, siapa diantara kita yang akan kalian undang ke dalam rumahnya kalian.”
Wanita itu masuk lagi lalu menceritakan kepada suaminya pembicaraan mereka. Suaminya merasa heran, “WOWO. .. Alangkah anehnya. Kalau demikian, marilah kita undang KAYA. Biarkan ia masuk dan mengisi rumah kita dengan kekayaan. ”
Tapi istrinya tidak setuju.
“Sayang. .. mengapa kita tidak mengundang SUKSES? ” kata istrinya.
Menantu perempuan mereka yang sejak tadi mendengarkan dari sudut rumah mengusulkan, “Apakah tidak lebih baik kita undang CINTA ? rumah kita nanti akan dipenuhi oleh CINTA”
“Benar! Mari kita ikuti saran menantu kita,” kata sang suami kepada istrinya. “Panggillah CINTA untuk menjadi tamu kita!”
Sang istri lalu keluar dan bertanya, “Siapa diantara kalian yang bernama CINTA?” masuklah dan jadilah tamu kami!
CINTA bangun dan berjalan ke arah rumah. Kedua orang tua yang lain bangkit mengikuti CINTA. Merasa heran, bertanya kepada KAYA dan SUKSES, “Aku hanya mengundang CINTA, mengapa kalian berdua ikut masuk?”
Mereka berkata, “kalau kau mengundang KAYA dan SUKSES, maka dua orang dari kami akan tetap tinggal diluar. Tetapi karena kau mengundang CINTA, kemanapun ia pergi, kami berdua selalu mengikutinya.”

Senin, 05 April 2010

Empat Istri Kita

Seorang pedagang kaya memiliki 4 orang istri. Istri ke-4 paling dicintainya. Ia memberinya berbagai perhiasan yang mahal dan memperlakukannya dengan lemah lembut. Ia merawatnya dan tidak memberinya sesuatu kecuali yang terbaik. Ia juga mencintai istrinya yang ke-3 merasa bangga padanya dan selalu memamerkannya kepada teman-temannya. Meskipun demikian, si pedagang selalu merasa khawatir kalau sewaktu-waktu ia lari dengan pria lain. Ia juga mencintai istrinya yang ke-2, karena ia penuh perhatian, berwatak sabar, dan merupakan orang kepercayaannya. Kapanpun ia menghadapi persoalan, istrinya ini selalu menolongnya dan begitu pula ketika ia menghadapi masa-masa sulit. Adapun istri pertamanya, ia sangat setia dan telah berjasa dalam mengurus kekayaan, bisnis dan rumah tangganya. Meskipun demikian, si pedagang tidak mencintainya. Ia hampir tidak pernah memperhatikannya.
Suatu hari si pedagang jatuh sakit dan menyadari bahwa ajalnya sudah dekat. Ia mengenang kehidupannya yang mewah selama ini, lalu berkata kepada dirinya sendiri, “Aku mempunyai empat orang istri tapi sewaktu mati nanti, aku akan sendiri. Alangkah kesepiannya aku nanti. !”
Ia kemudian bertanya kepada istrinya yang keempat, “Kau istri yang paling ku cintai. Aku telah memberimu berbagai pakaian baik dan mencurahkan banyak perhatian padamu. Sekarang ajalku telah dekat, maukan kau nanti mengikutiku dan menemaniku di kubur? ”
“Tidak!” jawab istri keempatnya sambil berjalan meninggalkannya., jawaban itu sangat menyakitkan, seakan pisau tajam yang menghujam tepat di jantungnya.
Pedagang yang sedih itu lalu bertanya kepada istrinya yang ketiga, “Selama hidupku aku sangat mencintaimu. Sekarang ajalku telah dekat, maukah kau nanti mengikutiku dan menemaniku di kubur?”
“Tidak! Kehidupan di sini sangat indah aku akan kawin lagi bila kau telah tiada !” Sang pedagang merasa sangat sedih .
Ia kemudian bertanya kepada istrinya yang ke-2, “Aku selalu memohon pertolonganmu dan kau selalu membantuku. Sekarang aku butuh pertolonganmu lagi. Bila aku mati nanti, maukah kau mengikuti dan menemaniku mati di kubur?
“Maafkan aku, aku tak dapat menolongmu kali ini” jawabnya. “paling-paling aku hanya bisa mengantarmu sampai ke kubur”. Jawaban itu datang bagaikan halilintar. Si pedagang seakan binasa. Tiba-tiba terdengar suara, “Aku akan berangkat bersamamu, aku akan mengikutimu kemana pun kau pergi”
Si pedagang mendongakkan kepalanya dan melihat istri pertamanya. Tubuhnya kurus kering, seakan kekurangan gizi. Dengan penuh penyesalan pedagang itu berkata, “Seharusnya aku dulu lebih memperhatikanmu”
Ketahuilah, sebenarnya kita semua mempunyai empat istri dalam keidupan ini. Istri keempat adalah tubuh kita. Berapa pun banyak waktu dan usaha untuk membuatnya cantik, ia akan tetap meninggalkan kita dan tidak ada harganya bila kita mati. Istri ketiga adalah kekayaan dan status kita. Bila kita meninggal, semuanya kan menjadi milik orang lain. Istri kedua adalah keluarga dan teman. Seberapa pun dekatnya mereka dengan kita, mereka paling jauh hanya bisa mengantarkan kita ke kubur. Istri kesatu adalah jiwa kita. Sering kali kita tidak mempedulikannya sewaktu kita mencari kekayaan dan memperturutkan kesenangan hawa nafsu. Padahal dialah nanti yang akan mengikuti kemanapun kita pergi.
Mungkin adalah gagasan yang baik untuk memelihara dan menguatkan jiwa kita sejak saat ini juga dari pada kita kelak menyesal di atas pembaringan kematian.

GOSIP

Seorang wanita meneruskan sedikit gosip yang ia dengar tentang tetangganya. Hanya dalam beberapa hari seluruh kampung telah mengetahui cerita itu. Orang yang digosipkan merasa tersinggung dan sakit hati. Dikemudian hari, wanita yang memulai gosip itu menyadari bahwa gosip itu ternyata sama sekali tidak benar. Ia menyesal dan lalu mendatangi seorang bijak. Ia bertanya kepadanya cara memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya.
“Pergilah ke Pasar,!” kata si bijak, “Lalu belilah anak ayam dan mintalah agar disembelih sekalian. Kemudian dalam perjalananmu pulang, cabutlah bulu ayam itu dan jatuhkan satu demi satu di jalan yang kau lalui !”
Meskipun heran dengan nasihat itu, si wanita tetap melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.
Hari berikutnya, si orang bijak berkata, “sekarang, pergilah dan kumpulkan semua bulu yang kemarin kau jatuhkan satu demi satu di jalan yang kau lalu serahkan bulu-bulu itu kepadaku.”
Si wanita segera menelusuri jalan yang ia tempuh kemarin. Ia merasa kaget dan cemas melihat angin telah meniup semua bulu-bulu itu. Setelah berjam-jam mencari ia kembali hanya dengan tiga helai bulu saja di tangannya.
“Kau mengerti,” kata si orang bijak, “adalah mudah untuk menjatuhkan bulu-bulu itu, tapi mustahil untuk mengumpulkannya kembali. Demikian pula halnya dengan gosip, tidak butuh waktu banyak untuk menyebarkannya, tetapi sekali kau lakukan, kau tidak dapat benar-benar mengoreksinya.”
 Mari Tersenyum
Suatu hari ada tiga orang bijak yang pergi berkeliling negeri untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mendesak. Sampailah mereka pada suatu hari di desa Nasrudin. Orang-orang desa ini menyodorkan Nasrudin sebagai wakil orang-orang yang bijak di desa tersebut. Nasrudin dipaksa berhadapan dengan tiga orang bijak itu dan di sekeliling mereka berkumpullah orang-orang desa menonton mereka bicara.
Orang bijak pertama bertanya kepada Nasrudin, ”Di mana sebenarnya pusat bumi ini?”
Nasrudin menjawab, ”Tepat di bawah telapak kaki saya, saudara.”



”Bagaimana bisa saudara buktikan hal itu?” tanya orang bijak pertama tadi.
”Kalau tidak percaya,” jawab Nasrudin, ”Ukur saja sendiri.”
Orang bijak yang pertama diam tak bisa menjawab.
Tiba giliran orang bijak kedua mengajukan pertanyaan.
”Berapa banyak jumlah bintang yang ada di langit?”
Nasrudin menjawab, ”Bintang-bintang yang ada di langit itu jumlahnya sama dengan rambut yang tumbuh di keledai saya ini.”
”Bagaimana saudara bisa membuktikan hal itu?”
Nasrudin menjawab, ”Nah, kalau tidak percaya, hitung saja rambut yang ada di keledai itu, dan nanti saudara akan tahu kebenarannya.”
”Itu sih bicara goblok-goblokan,” tanya orang bijak kedua, ”Bagaimana orang bisa menghitung bulu keledai.”
Nasrudin pun menjawab, ”Nah, kalau saya goblok, kenapa Anda juga mengajukan pertanyaan itu, bagaimana orang bisa menghitung bintang di langit?”
Mendengar jawaban itu, si bijak kedua itu pun tidak bisa melanjutkan.
Sekarang tampillah orang bijak ketiga yang katanya paling bijak di antara mereka. Ia agak terganggu oleh kecerdikan nasrudin dan dengan ketus bertanya, ”Tampaknya saudara tahu banyak mengenai keledai, tapi coba saudara katakan kepada saya berapa jumlah bulu yang ada pada ekor keledai itu.”
”Saya tahu jumlahnya,” jawab Nasrudin, ”Jumlah bulu yang ada pada ekor keledai saya ini sama dengan jumlah rambut di janggut Saudara.”
”Bagaimana Anda bisa membuktikan hal itu?” tanyanya lagi.
”Oh, kalau yang itu sih mudah. Begini, Saudara mencabut selembar bulu dari ekor keledai saya, dan kemudian saya mencabut sehelai rambut dari janggut saudara. Nah, kalau sama, maka apa yang saya katakan itu benar, tetapi kalau tidak, saya keliru.”
Tentu saja orang bijak yang ketiga itu tidak mau menerima cara menghitung seperti itu.
Dan orang-orang desa yang mengelilingi mereka itu semakin yakin Nasrudin adalah yang terbijak di antara keempat orang tersebut.

Paku di Pagar

Dahulu ada seorang gadis kecil berwatak buruk. Ibu gadis itu memberinya sekantung paku dan memerintahkannya untuk menancapkan paku itu pada bagian bagian pagar setiap kali ia marah.
Pada hari pertama, gadis itu menancapkan 37 paku ke pagar. Beberapa minggu berikutnya, karena ia mulai bisa mengendalikan dirinya, jumlah paku yang ia tancapkan ke pagar semakin berkurang. Ia juga menyadari bahwa lebih mudah menahan amarah dari pada menancapkan paku ke pagar.
Akhirnya, tibalah saat gadis itu bisa menguasai dirinya dan tidak pernah marah lagi. Ia lalu menceritakan hal ini kepada ibunya. Ibunya menyarankan agar ia sekarang mencabut paku dari pagar setiap kali ia bisa menguasai amarahnya.
Setelah lewat beberapa hari, gadis itu melapor kepada ibunya bahwa paku-paku yang tertancap dipagar telah tercabut semua.
Sang ibu kemudian menggandeng tangan anaknya ke pagar lalu berkata, “ Kau sekarang telah berprilaku baik, Nak, tapi lihat lubang-lubang dipagar itu. Pagar itu tidak akan pernah sama seperti dahulu. Sewaktu kau marah-marah, kata-kata yang kau ucapkan menyebabkan persis seperti lubang-lubang dipagar ini.”
Kau dapat menusukkan pisau ke tubuh seseorang lalu mencabutnya. Tak jadi masalah beberapa banyak kau berkata: maafkan aku, tapi luka itu akan tetap ada di situ. Luka yang diakibatkan lisanmu sepedih luka tusukan itu.

Kau adalah sahabatku, dan aku merasa terhormat memiliki teman sepertimu. Tolong maafkan aku, bila aku pernah meninggalkan lubang di pagar hatimu.

PRIORITAS The Rock In Your Life

Seorang guru besar filsafat berdiri di muka kelas, di hadapannya ada beberapa benda. Ketika masuk waktu pelajaran, ia mengambil sebuah wadah besar bekas tempat mayonnaise lalu mengisinya dengan batu yang berdiameter kurang lebih dua inci. Setelah penuh ia bertanya kepada murid-muridnya, “Apakah tempat ini sudah penuh ?” Murid-muridnya menjawab, “Ya.”
Kemudian pak professor mengambil sekaleng batu kerikil lalu menuangkannya ke dalam wadah tadi. Ia kemudian dengan lembut menggoyang wadah itu sehingga kerikil tadi menggelinding mengisi ruang di antara batu-batu. Ia lalu bertanya kepada murid-muridnya, “Apakah tempat ini sudah penuh ?” Murid-muridnya menjawab, “Ya.”
Pak professor kemudian mengambil sekaleng pasir lalu menuangkannya ke dalam wadah tadi. Pasir itu pun segera mengisi ruang-ruang kosong di antar baru dan kerikil.
“Nah, sekarang,” kata pak professor, “aku ingin kalian memahami bahwa demikianlah sesungguhnya kehidupan kalian, Batu itu merupakan hal-hal penting dalam kehidupan kalian, seperti: keyakinan, keluarga, pasangan hidup, kesehatan dan anak-anak kalian, yakni semua hal yang sangat penting dalam kehidupan kalian, yang bila kalian tidak mengurusnya dengan baik, boleh jadi kalian sengsara. Kerikil adalah hal-hal lain yang kedudukannya lebih rendah, tapi berpengaruh pada kehidupan kalian, seperti: pekerjaan, rumah dan mobil. Pasir adalah hal-hal lain yang kurang begitu penting. Apabila kalian mengisi wadah ini dengan pasir lebih dahulu, maka batu dan kerikil tidak akan mendapat tempat. Demikian juga kehidupan kalian, kalau kalian habiskan tenaga dan waktu kalian untuk hal-hal yang sia-sia, kalian tidak akan berhasil melakukan pekerjaan yang penting bagi kehidupan kalian.”
Oleh karena, itu perhatikanlah hal-hal yang penting bagi kalian, lewatkan waktu untuk menambah keyakinan kalian, lewatkan waktu kalian bersama anak-anak kalian, sediakan waktu untuk memeriksa kesehatan. Adapun waktu untuk kerja, membersihkan rumah, mengadakan jamuan makan, memperbaiki kerusakan akan selalu tersedia.



Utamakan batu, yakni hal-hal yang paling penting, lalu tetapkan urutan prioritas, yang lain hanyalah pasir

Wadah yang Cacat

Seorang pemikul air di India mempunyai dua wadah air yang besar. Masing-masing wadah itu digantungkan pada kedua ujung kayu yang kemudian di pikul oleh si pemikul air. Salah satu wadah air itu retak, sedang wadah lain sempurna dan selalu berisi penuh sejak di pikul dari sungai sampai ke rumah tuannya. Adapun wadah yang retak hanya bisa membawa air separuhnya saja.
Kejadian ini berlangsung selama dua tahun. Wadah yang sempurna tentu saja merasa bangga akan prestasinya. Tapi wadah yang cacat merasa malu atas ketidaksempurnaannya, dan merasa sedih karena ia hanya bisa membawa separuh dari jumlah air yang seharusnya.
Setelah dua tahun dari apa yang dianggapnya sebagai kegagalan pahit, ia akhirnya berbicara kepada si pemikul air di tepi sungai., “aku malu kepada diriku sendiri, dan aku minta maaf kepadamu.
“Mengapa, ?” Tanya si pemikul air. “Apa yang kau malukan ?”
“Selama dua tahun ini aku hanya dapat mengantarkan air separuh dari wadahku. Retak tubuhku membocorkan air sepanjang jalan ke rumahmu tuan. Karena cacatku ini, maka kau harus bekerja lebih berat: kau tidak mendapatkan hasil sesuai dengan jerih payahmu,” keluh wadah itu.

Si pemikul air merasa kasihan kepada wadah yang cacat itu, lalu dengan penuh haru ia berkata, “Dalam perjalanan ke rumah tuanku nanti, ku harap kau memperhatikan keindahan bunga-bunga yang tumbuh di sepanjang jalan.”
Memang benar! Ketika mereka mendaki pegunungan, wadah yang cacat itu melihat di sepanjang jalan tumbuh bunga-bunga indah yang diterpa hangatnya sinar matahari pagi. Pemandangan ini sedikit menghibur hatinya. Namun, pada akhir perjalanan ia kembali bersedih mengetahui air yang disimpannya tinggal separuh karena bocor sepanjang jalan. Ia kemudian meminta maaf lagi atas kegagalannya.
Si pemikul air berkata kepadanya, “Tidakkah kau perhatikan, bahwa bunga-bunga itu hanya tumbuh di sisi yang kau lalui., bukan di sisi wadah yang lain ? itu karena aku mengetahui kelemahanmu lalu memanfaatkannya. Aku menanam benih di sepanjang jalan yang kau lalui. Setiap hari, setelah aku mengambil air dari sungai, kau menyirami benih-benih itu. Selama hampir dua tahun, aku bias memetik bunga-bunga indah untuk menghias meja tuanku. Bila keadaanmu tidak demikian, tidak akan bisa mendapatkan keindahan itu dalam rumahnya

Segenap Kekuatanmu (all your strength)

Seorang lelaki bersama anaknya umur 10 tahun mendaki gunung. Si anak berhenti untuk mengamati batu yang berukuran sedang yang terletak di tengah jalan.
“Ayah, bagaimana pendapatmu, mampukah aku menggeser batu itu ?”
Sang ayah melihat batu itu lalu berkata, “Ya, asal kau gunakan segenap kekuatan yang kau miliki, kau pasti mampu menggesernya.”
Si anak lalu memasang kuda-kuda dan mendorong batu itu dengan segenap tenaga, tetapi batu itu tak bergeming.
“Ahh. … ternyata pikiran ayah keliru, yah, aku tidak bisa menggeser batu itu, ” kata anaknya.
“Tidak nak, aku tidak keliru. Aku tadi berkata, kau dapat menggesernya bila menggunakan segenap kekuatan yang di miliki. Namun, kau tidak menggunakan semua kekuatanmu: kau tidak meminta bantuanku.”

Anak laki-laki dan pohon apel (The Boy and The Apple Tree)

Dahulu kala ada sebuah pohon apel yang besar. Setiap hari, seorang anak kecil mendatangi pohon itu dan bermain di sekelilingnya. Ia memanjat puncaknya, makan buahnya dan tidur dinaungannya. Ia mencintai pohon itu, dan pohon itu pun senang bermain-main dengannya.
Waktu berjalan, si anak tumbuh lebih besar. Ia tidak lagi bermain-main di bawah pohon itu setiap hari. Suatu hari si anak mendatangi pohon dengan wajah sedih.
“Mari kita bermain,” kata pohon apel
“Aku sudah bukan anak-anak lagi, aku tidak bermain dibawah pohon,” kata si anak. “Aku ingin mainan. Aku butuh uang untuk membelinya.”
“Maaf, aku tidak punya uamg, tapi kau dapat memetik semua buahku untuk menjualnya.”
Anak itu menjadi sangat senang. Lalau ia memetik semua apael yang bergantungan di pohon, kemudian pergi dengan perasaan gembira.
Setelah itu, si anak kembali lagi. Pohon apel merasa sedih. Suatu hari, si anak kembali dan pohon apel merasa sangat gembira.
“Mari kita bermain-main,” ajak pohon apel
“Aku tidak punya waktu. Aku harus bekerja untuk menghidupi keluargaku. Kami butuh rumah untuk berteduh. Dapatkah kau membantuku?” kata si anak
“Maaf, aku tidak punya rumah, tapi kau dapat memotong dahan-dahanku untuk membangun rumahmu.”
Si anak lalu memotong semua cabang pohon dan pergi dengan perasaan gembira. Sang pohon juuga merasa bahagia bisa membantu.namun setelah itu si anak tidak pernah datang lagi. Sang pohon merasa kesepian dan sedih.
“Kemarilah. ... bermain denganku!” kata pohon.
“Aku lagi sedih. Aku semakin tua, aku ingin berlayar untuk menikmati hari tuaku. Dapatkah kau memberiku perahu?”
“Gunakanlah batangku untuk membuat perahu. Kau dapat berlayar jauh dan menikmati hari-hari bahagia!”
Lalu si anak memotong batang pohon untuk membuat perahu. Ia pergi berlayar dan lama tidak kembali. Akhirnya, sekian setelah sekian banyak tahun lewat, si anak kembali.
“Nak, maafkan aku, aku tidak punya apa-apa lagi untukmu sekarang. Tidak ada apel lagi untukmu. ......” kata pohon apel.
“Aku sudah tidak punya gigi lagi untuk menggigit,” kata si anak
“Aku tidak punya batang lagi untuk dipanjat.”
“Aku terlalu tua untuk memanjat.”
“Aku benar-benar tidak memiliki apa-apa kecuali akar-akarku yang sekarang sekarat,” kata pohon dengan sedih.
“Aku sekarang tidak butuh macam-macam, aku hanyabutuh tempat istirahat. Aku merasa lelah setelah melewatkan tahun-tahun itu,” jawab si anak
“Baiklah kalau demikian. Akar pohon tua adalah tempat yang baik untuk bersandar dan beristirahat. Kemarilah. ... duduklah bersamaku. Istirahatlah!”
Si anak lalu duduk dan sang pohon tersenyum bahagia, meneteskan air mata
***
Pohon apel itu ibarat orang tua kita. Ketika kita kecil kita senang bermain dengan ayah dan ibu kita. Setelah dewasa, kita tinggalkan mereka. Kita hanya mengunjungi orang tua kita ketika membutuhkan bantuan mereka, atau ketika dalam kesulitan. Apapun yang terjadi pada kita, kedua orang tua kita selalu di samping kita dan siap memberikan segalanya demi kebahagiaan kita

GEMA KEHIDUPAN

Seorang anak dan ayah berjalan di gunung. Si anak terpeleset dan terluka. Ia menjerit kesakitan, “aaahhhhhhhhhh!!!” Tiba-tiba terdengar suara menirukan dari suatu arah di gunung, “Aaaaaaahhhhhh!!!”
Merasa takjub dan penasaran, ia berteriak, “Siapa kau?” ia mendapat jawaban, “Siapa kau?”
Ia menjadi marah dengan jawaban itu, lalu berteriak keras, “PENGECUUUT!”
Ia mendapat jawaban, “PENGECUUUT”
Si anak menatap ayahnya lalu bertanya, “Apa yang terjadi?”
Ayahnya tersenyum lalu berkata, “Anakku perhatikanlah.”
Ia lalu berteriak, “AKU MENYUKAIMU!”
Suaru itu berkata, “AKU MENYUKAIMU!”
Ayahnya berteriak lagi, “KAU ADALAH JUARA!”
Suara itu berkata, “KAU ADALAH JUARA!”
Si anak bingung, tidak mengerti. Ayahnya kemudian menjelaskan, “Orang menyebut suara itu gema tapi sesungguhnya demikianlah kehidupan itu. Kehidupan akan memberikan kembali segala yang kau katakan dan lakukan. Kehidupan kita ini hanyalah refleksi (pantulan) dari perilaku kita. Jika kau menginginkan cinta lebih banyak di dunia ini, maka ciptakanlah cinta lebih banyak di hatimu. Jika kau menginginkan keahlian banyak di teammu, maka tingkatkanlah keahlianmu. Pertalian itu berlaku pada semua hal dalam segenap aspek kehidupan. Kehidupan akan memberikan kembali semua hal yang kau berikan padanya.”

KELUARGA ( Family )

Aku menabrak seseorang yang tidak kukenal yang sedang lewat, “Oh, maafkan aku.” Ia berkata, “Maafkan juga aku. Aku tidak melihatmu.”
Kami saling bersikap sopan: Aku dan orang yang tidak kukenal itu. Kemudian kami saling mengucapkan selamat tinggal dan melanjutkan perjalanan.
Peristiwa di atas bila terjadi di rumah akan menjadi sangat berbeda. Renungkan bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita cintai; tua ataupun muda!
Masih di hari yang sama, malam itu aku memasak makan malam. Anak perempuanku diam-diam berdiri disebelahku. Ketika berbalik, aku hampir saja menabraknya.
“Menyingkirlah kau,” bentakku sambil mengernyitkan alis.
Ia pun pergi dengan membawa luka di hati. Aku tidak sadar betapa aku telah berkata kasar kepadanya.
Malam itu ketika aku berbaring di tempat tidur, terdengar suara lembut Tuhan, “Ketika berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, kau bersikap sangat santun. Tapi terhadap anakmu sendiri, kau berlaku kejam. Coba lihatlah di lantai dapur, kau akan mendapati beberapa kuntum bunga tergeletak dekat pintu. Itu adalah bunga yang akan diberikan kepadamu. Anakmu memetiknya sendiri: merah muda, kuning dan biru. Ia sengaja berdiam-diam di sebelahmu untuk memberi kejutan. Kau bahkan tidak melihat matanya yang basah berkaca-kaca”
Saat itu aku merasa sangat kerdil, dan air mataku mulai berjatuhan. Perlahan-lahan aku pergi ke kamarnya, lalu berlutut di dekat tempat tidurnya.
“Bangun anak kecil, bangunlah,” kataku lembut. “Apakah bunga-bunga ini kau petik untukku?”
Ia tersenyum, “Aku melihatnya di luar dekat pohon lalu memetiknya karena bunga-bunga itu sangat cantik seperti mama. Aku tahu mama pasti menyukainya, terutama yang biru.
“Anakku aku menyesal atas sikap ku tadi. Tidak seharusnya aku berteriak kepadamu seperti itu,” kataku
“Tidak apa-apa, Mama. Aku tetap mencintai mama.”
“Anakkku, aku juga mencintaimu. Aku memang suka bunga-bunga itu, terutama yang berwarna biru.”

Garam dan Telaga

Seorang guru yang telah lanjut usia merasa lelah terus menerus mendengar keluhan seorang muridnya. Suaru pagi hari, ia menyuruh muridnya membawa garam. Setelah muridnya yang tidak bahagia itu kembali, ia memerintahkannya untuk melarutkan segenggam garam ke dalam satu gelas air kemudian meminumnya.
“Bagaimana rasanya?” Tanya sang guru
“Tidak enak,” Jawab si murid sambil meludahkannya kesamping.
Sang guru tertawa kecil lalu memerintahkannya untuk mengambil lagi segenggam garam. Kedua orang itu berjalan menuju telaga yang tidak jauh letaknya. Sang guru memerintah muridnya untuk menaruh garam itu di telaga dan mengaduknya.
“Nah, sekarang minumlah air telaga ini!” Kata sang guru
Setelah ia minum air telaga, gurunya bertanya,
“Bagaimana rasanya?”
“Segar,” Jawab si murid.
“Apakah kau mendapati rasa garam di air itu?” Tanya gurunya.
“Tidak,” jawab muridnya.
Sampai di sini sang guru duduk di sebelah anak muda yang serius ini, yang mengingatkannya pada masa mudanya dulu. Ia memegang tangan muridnya lalu berkata, “Pahitnya kehidupan seperti pengaruh garam ini, tak lebih dan tak kurang. Besar kecilnya penderitaan tergantung pada wadah tempat kita meletakkannya. Jadi, bila kau menderita, satu-satunya yang dapat kau perbuat adalah melapangkan dadamu. Berhentilah menjadi gelas, jadilah kau telaga.”

Kehidupan di Desa (Poor Folks)

Suatu hari seorang ayah dari keluarga yang sangat kaya membawa anaknya ke desa untuk menunjukkan kepadanya kehidupan orang-orang miskin. Mereka tinggal beberapa hari di rumah seorang petani miskin. Sekembalinya di desa, sang ayah bertanya kepada anaknya, “Bagaimana munurutmu perjalanan kita ini?”
“Hebat, Ayah.” Kata anaknya
“Apakah kau melihat bagaimana orang-orang miskin itu hidup?”
“Ya.”
“Lalu pelajaran apa yang dapat kau ambil dari perjalanan itu?” Tanya ayahnya cengan bangga
“Aku sadar bahwa kita punya dua anjing sedang mereka punya tempat. Kita punya kolam renang yang luasnya sampai ke tengah kebun, sedang mereka mempunyai sungai yang tak memiliki bintang-bintang di malam hari. Teras kita sampai ke halaman depan, sedang mereka memiliki seluruh horizon. Kita memiliki tanah tempat tinggal yang kecil, mereka memiliki halaman sejauh mata memandang. Kita mempunyai pembantu-pembantu yang melayani kita, sedang mereka memberikan pelayanan kepada orang lain. Kita membeli makanan kita, mereka memetik sendiri makanan mereka. Kita memiliki pagar yang mengelilingi dan melindungi kekayaan kita, mereka memiliki teman yang melindungi mereka.”
Sampai di sini, sang ayah tak bisa berkata apa-apa. Kemudian anaknya menambahkan, “Ayah terima kasih engkau telah menunjukkan betapa miskinnya kita.”
***

Kita sering lupa pada segala yang kita miliki dan memusatkan perhatian hanya pada apa-apa yang tidak kita miliki.
Benda-benda yang tidak bernilai di mata kita bisa jadi merupakan barang berharga di mata orang lain. Semua itu tergantung pada perspektif seseorang. Bayangkan apa yang terjadi bila kita semua mensyukuri karunia yang telah kita peroleh dari pada merasa gelisah karena menghendaki yang banyak.
Nikmatilah segala yang telah kau miliki, perhatian kekayaan (nilai) yang terkandung di dalamnya

Keledai ( The Donkey)

Keledai seorang petani terperosok kedalam sumur. Bintang itu menjerit-jerit dengan suara memilkukan selama berjam-jam sementara petani memeras otak untuk menolongnya. Akhirnya, ia memutuskan untk menguburnya saja, karena disamping keledai itu sudah tua, sumur itu pun layak untuk ditutup.
Ia kemudian mengundang tetangga-tetangganya untuk datang membantu. Mereka semua membawa sekop dan ,mulai menyekop tanah, limpur dan kotoran. Ia lalu membuangnya ke dalam sumur.
Si keledai menyadari apa yang akan menimpa dirinya. Ia lalu menjerit-jerit ketekutan. Namun, orang-orang yang di atas merasa heran karena tiba-triba saja keledai berhenti menjerit-jerit. Beberapa sekop berikutnya si petani melongok ke bawah dan merasa takjub menyaksikan apa yang dilihatnya; setiap kali lumpur dan kotoran jatuh menimpa punggungnya, keledai itu mengibaskan tubuhnya sehingga kotoran itu jatuh lalu melangkah keatasnya. Para tetangga petani itu terus membuang tanah, lumpur dan kotoran ke punggung keledai untuk menguburnya, dan si keledai terus mengibaskan kotoran-kotoran itu lalu melangkah ke atasnya. Tak lama kemudian si keledai dapat melangkah ke mulut sumur lalu berlari keluar.
Kehidupan ini akan menyekop dan melemparkan kotoran kepadamu: semua jenis kotoran. Cara keluar dari sumur kesulitan itu adalah dengan mengibaskan kotoran itu dengan melangkah ke atasnya. Setiap kesulitan yang kau hadapi adalah batu lompatan. Kita dapat ke luar dari sumur yang paling dalam bukan dengan berhenti berusaha, atau menyerah tetapi dengan cara mengatasi problem dan melangkah ke atasnya.

Sang Kodok (The Frogs)

Sang kodok melakukan perjalanan menembus hutan. Dua kodok terjerumus ke dalam lubang yang dalam. Kodok-kodok yang lain segera berkerumunan di sekitar mulut lubang. Mereka mengamati kedalaman lubang itu, lalu berteriak kepada kodok sial itu bahwa mereka tidak akan pernah bisa keluar. Kedua kodok tidak mengacuhkan pendapat mereka. Mereka berdua mulai melompat-lompat untuk keluar dari lubang. Kodok-kodok di atas terus berteriak memberitahu mereka berdua agar berhenti berusaha. Kodok satu terpengaruh ucapan mereka. Ia jatuh dan mati. Kodok yang lain terus berusaha melompat sekuat tenaga. Sekali lagi, kumpulan kodok di atas berteriak kepadanya agar berhenti bersusah payah. Kodok itu justru melompat lebih kuat sehingga akhirnya ia berhasil keluar dari lubang. Kodok tuli itu selamat berkat teriakan teman-temannya. Ia mengira teman-temannya terus menerus memberinya semangat agar berusaha lebih keras.
Dalam cerita ini terkandung dua pelajaran:
1. Ucapan semangat kepada seseorang yang sedang putus asa dapat membangkitkan semangat orang itu dan membuatnya mampu menjalani hari-hari sulit
2. Ucapan destruktif kepada seseorang yang sedang putus asa dapat mematikannya. Karena itu, hati-hatilah dengan ucapan

Harga dari sebuah keajaiban

Tess menjadi dewasa sebelum waktunya ketika mendengar mama dan papanya berbicara tentang adik kecilnya, Andrew. Dari pembicaraan kedua orang tuanya, ia tahu bahwa adiknya sangat sakit padahal mereka tidak memiliki uang. Hanya operasi mahal yang dapat menyelamatkan Andrew, dan tampaknya tidak ada orang yang dapat memberi merka pinjaman uang.
Tess mendengar papanya berbisik putus asa kepada mamnya yang sedang menangis, “Hanya keajaiban yang dapat menyembuhkannya.”
Tess pergi kekamarnya, mengeluarkan tabungan dari persembunyian di lemari pakaian, lalu menuangkan isinya ke lantai. Ia kemudian menghitungnya dengan teliti, bahkan melakukannya tiga kali. Jumlah hitungan harus tepat. Tidak boleh ada kesalahan. Ia kemudian memasukkan kembali uang receh itu ke dalam tabungan, menutupnya, lalu menyelinap ke luar lewat pintu belakang. Ia berjalan 6 blok mendatangi Toko obat Rexall yang pada pintunya terdapat gambar kepala suku Indian dalam ukuran besar. Ia menunggu dengan sabar untuk mendapat perhatian dari apoteker yang sedang bekerja di sana. Rupanya sang apoteker terlalu sibuk saat itu. Tess menekankan kakinya ke lantai lau memutarnya sehingga mengeluarkan suara berderit. Tak ada yang memperhatikannya. Ia berdehem membersihkan tenggorokannya dengan suara yang menjijikkan. Inipun tak ada gunanya. Akhirnya ia mengambil uang setali (quarter) lalu memukulkannya ke kaca etalase. Kali ini ia berhasil mendapat perhatian.
”Apakah yang kau inginkan?” kata dikter itu dengan agak jengkel. ”Aku sedang bicara dengan saudaraku dari chicago yang telah lama tidak bertemu.”
”Well, aku ingin bicara kepadamu tentang saudaraku,” kata Tess, juga dengan nada jengkel. ”Ia benar-benar sakit... aku ingin membeli keajaiban.”
”Apa?” tanya si apoteker
”Namanya Andrew, ada sesuatu yang jahat tumbuh dalam kepalanya. Papaku berkata hanya keajaiban yang dapat menyelamatkannya. Jadi, berapa harga keajaiban?”
”Adik kecil, kami disini tidak menjual keajaiban. Maaf, aku tidak dapat menolongmu,” kata si apoteker kali ini dengan suara lebih lembut.
”Dengarkan. .., aku punya uang untuk membelinya. Bila tidak cukup aku akan mengambil uang lagi. Tolong katakan saja berapa harganya!”
Saudara si apoteker yang berapakaian rapi membukuk lalu bertanya kepada si gadis kecil, ”Keajaiban apa yang dibutuhkan adikmu?”
”Aku tidak tahu,” jawab Tess yang mulai menitikkan air mata. ”Yang ku tahu ia benar-benar sakit. Mama dan Papa bilang ia harus dioperasi . .., tapi papa tidak mampu membayar, lalu aku mengambil tabunganku”
”Berapa uang yang kamu miliki?”
”Satu dolar sebelas sen,” kata Tess lirih hampir tidak terdengar. ”Itu semua yang kumiliki, tapi aku dapat mencari tambahan bila diperlukan.”
”Well, alangkah kebetulan,” kata orang itu sambil tersenyum, ”Satu dolar sebelas sen adalah uang yang pas untuk membeli keajaiban untuk adikmu.
Orang itu lalu mengambil uang itu dengan tangan yang satu dan meraih tangan si gadis kecildengan tangannya yang lain lalu berkata, ”Bawalah aku ke rumahmu! Aku akan melihat adikmu dan bertemu dengan orang tuamu. Akan kulihat apakah aku punya keajaiban yang kau butuhkan.”
Pria berpakaian rapi itu adalah Dr. Carlton Armstrong, ahli bedah syaraf. Ia kemudian melakukan operasi dan tak lama kemudian Andrew sudah kembali ke rumah lagi dalam keadaan sehat. Mama dan Papa kemudian membicarakan rentetan kejadian yag akhirnya membawa mereka ketempat operasi.
”Operasi itu,” bisik sang Mama, ”Benar-benar ajaib.” Aku kadang bertanya dalam hati, betapa seharusnya biaya operasi itu.
Tess tersenyum. Ia tahu benar harga keajaiban itu: 1 dolar dan 11 sen plus keyakinan seorang gadis keci;
Keajaibang bukan bergantung pada hukum alam, tapi adalah hasil kerja hukum yang lebih tinggi